Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) — sebuah momentum global untuk mengingatkan kita semua bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Tahun 2025, tema yang diangkat adalah “Akses ke layanan – kesehatan mental dalam bencana dan keadaan darurat.”
Tema ini terasa semakin relevan bagi dunia kerja saat ini, di mana ketidakpastian ekonomi, tekanan profesional, serta dampak sosial dari berbagai krisis global semakin memengaruhi kesejahteraan mental para pekerja. Di tengah tuntutan kinerja, target yang terus meningkat, dan perubahan lingkungan bisnis yang cepat, banyak pekerja mengalami kelelahan emosional yang tidak terlihat. Mereka mungkin hadir secara fisik di tempat kerja, namun secara mental sedang berjuang keras untuk tetap fokus dan termotivasi. Di sinilah pentingnya organisasi mengambil peran aktif dalam menciptakan budaya kerja yang sehat secara mental — tempat di mana pekerja tidak hanya dilihat sebagai sumber daya, tetapi sebagai manusia yang perlu didukung, didengarkan, dan dihargai.
Tantangan Kesehatan Mental di Era Ketidakpastian
Dunia saat ini tengah dihadapkan pada berbagai krisis — mulai dari bencana alam, perang, hingga ketegangan sosial dan ekonomi. Meskipun tidak semua orang terdampak langsung, paparan berita yang berulang tentang krisis dapat memengaruhi kesehatan mental kita. Perasaan cemas, sedih, atau kewalahan merupakan reaksi yang wajar. Yang penting adalah mengenali tanda-tanda tersebut dan mencari dukungan yang tepat. “Meminta bantuan bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah pertama menuju pemulihan.” Di era digital, kita hidup dalam arus informasi yang deras dan tak terbendung. Hampir setiap menit, kabar, notifikasi, dan berita datang menghampiri — banyak di antaranya bernada negatif.
Fenomena ini dikenal sebagai doomscrolling, kebiasaan tanpa sadar terus menggulir berita buruk di media sosial, yang perlahan-lahan memperbesar rasa cemas dan menambah tekanan batin. Di sisi lain, media sosial sering menjadi ruang perbandingan yang tidak adil. Kita melihat potongan terbaik dari kehidupan orang lain, kesuksesan, kebahagiaan, dan pencapaian yang tampak sempurna, tanpa mengetahui perjuangan dan kenyataan di balik layar. Akibatnya, muncul perasaan tidak cukup baik, rasa iri yang halus, atau tekanan untuk selalu tampak bahagia dan berhasil. Padahal, sering kali apa yang terlihat hanyalah permukaan dari kisah yang jauh lebih kompleks di baliknya.
Untuk menjaga keseimbangan emosional, penting bagi pekerja untuk mengatur ulang hubungan mereka dengan dunia digital:
- Batasi waktu mengakses berita dan media sosial.
- Pilih sumber informasi yang kredibel dan positif.
- Luangkan waktu untuk kegiatan yang menyehatkan mental dan fisik, seperti olahraga rutin, berjalan kaki, membaca buku inspiratif, atau berbincang dengan teman dan keluarga.
Selain kesehatan fisik, pekerja juga perlu menjaga apa yang disebut “vitamin kesehatan mental.”
Vitamin ini tidak berbentuk pil, tetapi berupa kegiatan positif yang memberi nutrisi pada pikiran dan jiwa seperti membaca buku yang membangun semangat, melakukan meditasi, memperkuat hubungan sosial, dan memperdalam kegiatan spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah sederhana ini mampu menumbuhkan ketenangan, rasa syukur, dan optimisme di tengah tantangan hidup modern.
Tekanan yang Tak Selalu Terlihat
Kesehatan mental di tempat kerja sering kali tidak mendapat perhatian serius karena sifatnya yang tidak kasat mata. Tidak seperti luka fisik, stres, kecemasan, atau depresi sulit diidentifikasi, namun dampaknya nyata: menurunnya produktivitas, meningkatnya absensi, dan hilangnya makna dalam bekerja. Banyak pekerja kini menghadapi apa yang disebut “burnout profesional” — kelelahan emosional dan perasaan tidak berdaya akibat tekanan kerja yang berkepanjangan. Fenomena ini semakin parah ketika keseharian didominasi oleh layar berpindah dari laptop, ke ponsel, ke televisi tanpa memberi waktu istirahat bagi pikiran.
Pekerja yang kurang bergerak juga lebih rentan terhadap stres dan ketegangan. Karena itu, mengaktifkan tubuh melalui olahraga ringan, peregangan, atau sekadar berjalan kaki dapat menjadi bentuk sederhana namun efektif untuk memperbaiki keseimbangan emosional. Aktivitas fisik tidak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga melepaskan hormon endorfin yang membantu menurunkan stres dan meningkatkan suasana hati.
Lingkungan Kerja yang Menyembuhkan
Perusahaan memiliki peran besar dalam membantu pekerjanya menjaga kesehatan mental.
Membangun lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan emosional bukan lagi sekadar “nilai tambah”, melainkan kebutuhan strategis. Organisasi yang peduli terhadap kesejahteraan mental para pekerja terbukti memiliki tingkat loyalitas, kreativitas, dan kinerja yang lebih tinggi. Dukungan tidak selalu harus dalam bentuk besar. Terkadang, hal-hal sederhana seperti menciptakan ruang aman untuk berbicara, memberikan waktu istirahat yang cukup, atau menunjukkan empati dari atasan dapat memberi dampak besar. Inisiatif seperti Tea & Talk di mana rekan kerja berkumpul sambil berbincang santai bisa menjadi langkah awal untuk membuka percakapan tentang perasaan, stres, dan keseharian.
Perusahaan juga dapat menghadirkan layanan konseling internal atau eksternal, memberikan pelatihan bagi pimpinan untuk mengenali tanda-tanda kelelahan mental di timnya, serta menanamkan budaya bahwa “asking for help is okay.” Sikap terbuka, empati, dan tanpa penghakiman menjadi fondasi bagi terciptanya ekosistem kerja yang sehat secara psikologis.
Menjadi Tempat yang Peduli
Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 adalah panggilan bagi semua organisasi dan orang untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah tempat kerja kita sudah menjadi ruang yang aman secara mental bagi semua orang di dalamnya? Menjadi perusahaan yang peduli tidak harus menunggu program besar atau kebijakan formal. Dimulai dari hal-hal kecil — mendengarkan rekan kerja, menyapa dengan tulus, atau menanyakan “apa kabar?” dengan niat yang sungguh-sungguh. Setiap percakapan sederhana dapat menjadi jembatan untuk meringankan beban seseorang. Pada akhirnya, kesehatan mental di tempat kerja bukan hanya tentang mencegah stres, tetapi tentang membangun budaya yang manusiawi, di mana setiap orang bisa tumbuh, merasa dihargai, dan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Tanggung Jawab Bersama untuk Kesehatan Mental
Kesehatan mental bukan hanya urusan individu ini adalah tanggung jawab kita bersama.
Pemerintah, lembaga, perusahaan, dan setiap orang yang terlibat di dalamnya memiliki peran penting untuk menciptakan lingkungan yang peduli terhadap kesejahteraan psikologis. Kita semua harus berperan aktif dan sadar bahwa kesehatan mental adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari, dan hal itu dimulai dari kebiasaan sederhana yang kita bangun setiap hari.
Mulailah dengan menata kegiatan harian secara teratur dan terencana, memberi waktu istirahat yang cukup, serta mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Jaga tubuh agar tetap aktif dengan olahraga ringan, berinteraksi dengan orang-orang positif di sekitar kita, kurangi kebiasaan begadang dan paparan layar berlebih, serta luangkan waktu untuk menenangkan diri melalui doa, refleksi, atau aktivitas spiritual.
Kebiasaan kecil ini mungkin terlihat sederhana, namun sesungguhnya menjadi pondasi utama bagi kesehatan mental yang kuat dan seimbang. Dengan langkah kecil yang konsisten, kita membangun ketahanan batin yang membuat kita mampu menghadapi tantangan hidup dengan lebih tenang, tangguh, dan berdaya.
“Pekerja yang sehat secara mental adalah fondasi dari organisasi yang tangguh. Mari jadikan Hari Kesehatan Mental Sedunia bukan hanya satu hari di kalender, tetapi awal dari perubahan budaya kerja yang lebih manusiawi — karena kesehatan mental adalah kunci kehidupan yang seimbang, bahagia, dan bermakna.”
Sumber:
WHO
WQA Learning